Sabtu, 24 April 2010 | 13:47 WIB
Pemerintah Kabupaten Sumedang mengusung konsep Sumedang puseur budaya Sunda sebagai filter dampak pembangunan dan perkembangan teknologi. Di satu sisi, masyarakat pun diharapkan terlibat aktif dalam irama pembangunan tanpa meninggalkan jati diri dan nilai budayanya.
Konsep Sumedang puseur budaya Sunda (SPBS) itu sebelumnya telah dideklarasikan pada 29 April 2009, kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Bupati Sumedang Nomor 113 Tahun 2009 tentang Sumedang Puseur Budaya Sunda. Kebijakan SPBS bertujuan memperkokoh jati diri masyarakat Sumedang dan menguatkan daya saing daerah menuju tercapainya visi daerah, memperkokoh budaya Sunda dan nasional.
Menjadi menarik untuk dikaji karena kebijakan inovatif tersebut memfasilitasi upaya pelestarian budaya Sunda di Sumedang dan diharapkan dapat menstimulasi ikhtiar ngamumule budaya daerah di kabupaten/kota lainnya di Jabar.
Dengan berpijak pada moto dina budaya urang napak tina budaya urang ngapak, SPBS menjadi instrumen bagi Sumedang sebagai persemaian untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan budaya Sunda secara sistematis dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangungan, dan kemasyarakatan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Di tengah arus kemajuan zaman, konsep SPBS ibarat benteng pertahanan untuk mengantisipasi pergeseran nilai-nilai. Ketika pembangunan kehilangan ruh budaya dan hanya bertumpu pada nilai ekonomis, SPBS menjadi relevan dengan konsep pembangunan berbasis budaya. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana implementasi instrumen SPBS itu di tengah daya saing kehidupan dan integrasi-sinergitasnya dengan daerah lain yang juga berbasis budaya Sunda?
Menurut salah seorang pemangku adat di Yayasan Pangeran Sumedang, Ahmad Wiriaatmadja (70), deklarasi SPBS bukanlah sebuah tindakan asal-asalan tanpa latar belakang yang kuat. Kenyataan perjalanan sejarah Sumedang menjadikan SPBS sesuai dengan jiwa nurani urang Sunda yang mibanda budaya Sunda. Penggunaan bahasa Sunda dan berpikir secara orang Sunda menjadikan kasundaan tidak sekadar wilayah administratif. Salah satu indikatornya, nilai-nilai Ki Sunda itu dipandang sebagai pegangan hidup masyarakat atau way of life.
"Hirup-hurip"
Pada konteks SPBS sebagai instrumen mengantisipasi pergeseran nilai-nilai dan meningkatkan daya saing daerah, ruh SPBS bersandar pada tatanan manajerial Rawayan Jati Sunda. Tahap perencanaan terdiri dari sirnaning cipta, sirnaning rasa, dan sirnaning karsa. Tahap pengorganisasian berlandaskan pada sirnaning karya. Fase pelaksanaan berasas sirnaning diri, sirnaning hirup, dan sirnaning hurip, untuk kemudian berdasar pada sirnaning wujud di tahap pelaksanaan.
Implementasi tatanan manajerial tersebut bermuara pada sikap operasional Dasa Marga Raharja: takwa, someah, surti, jembar, bruk-brak, guyub, motekar, tarapti, junun jucung, serta punjul luhung. Sebagai sentral spiritualitas, semua tatanan manajerial dan operasional SPBS ditopang nilai filosofis insun medal insun madangan (aku lahir untuk memberi penerangan) yang pernah diucapkan peletak dasar Kerajaan Sumedang Prabu Tajimalela (sekitar tahun 1500).
Spirit itulah yang diharapkan mampu menggelorakan SPBS sebagai energi pembangkit nilai-nilai kasundaan di Sumedang dan di wilayah Tatar Sunda yang berorientasi pada peningkatan karaharjaan masyarakat dan penguatan daya saing daerah.
Wilayah Kerajaan Sumedang yang pada masanya meliputi hingga Cipamali (Brebes) di timur, Cisadane di barat, berbatasan dengan laut utara Jawa, dan Samudra Hindia di selatan, telah merangkai kembali tatanan kehidupan masyarakat pascaruntuhnya Kerajaan Pajajaran.
Selain Prabu Tajimalela, tak sedikit Raja Sumedang yang menelurkan ide-ide kreatif dan inovatif, bahkan berani demi membela rakyatnya. Sekadar menyebut contoh, ada Prabu Geusan Ulun (1579-1610) yang berwawasan kenegarawanan dan mewujudkan pemerintahan yang kuat, Pangeran Kornel (1791-1828) yang berani menentang Jenderal Daendels dan berpihak kepada rakyat saat pembuatan Jalan Pos di Cadas Pangeran, serta Pangeran Aria Suriaatmaja (1882-1919) yang memiliki rasa nasionalisme tinggi sebagaimana tertuang dalam buku Ditiung Memeh Hujan.
Kini memasuki alam kemerdekaan dan era otonomi daerah, implementasi SPBS yang diharapkan menstimulasi daerah lain dalam upaya memelihara nilai-nilai kasundaan adalah hal penting untuk melakukan sinergi dengan wilayah lain di Jabar. Kaitannya dengan hal tersebut, Pemprov Jabar setidaknya dapat berperan sebagai fasilitator memadukan upaya sinergi multi-stakeholder guna menggali potensi budaya daerahnya dalam perspektif pembangunan. Adanya keterpaduan ini diharapkan mewujudkan kondisi ngadumanisna visi pemerintah daerah dan pelibatan masyarakat untuk bersama-sama menjaga ajen-inajen kasundaan.
Program percepatan
Berkaca pada nasib penataan kawasan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, yang pada akhirnya menimbulkan berbagai persoalan sosial, pemuliaan budaya Sunda guna menghadapi daya saing daerah hendaknya tidak hanya dalam wujud gagasan, tetapi juga program percepatan ke arah wujud perilaku dan wujud karya dilandasi etos kerja yang kreatif dan inovatif. Dalam laporan harian ini edisi 21/2/2010, terungkap bagaimana penataan Jatinangor hanya melahirkan "orang-orang kalah dari Jatinangor".
Kawasan yang hingga 1980 masih merupakan hamparan luas kebun karet, teh, dan persawahan hanya dalam dua dekade berubah menjadi kawasan kompleks pendidikan, dari STPDN, Ikopin, Unwim, hingga Unpad. Dampak ikutannya, daerah ini sekarang dipenuhi mal, vila, hotel, perumahan, kafe, kos, apartemen, warnet, dan warung laptop.
Masyarakat Jatinangor mengalami gegar budaya, terpinggirkan, dan terasing di lingkungannya sendiri. Lingkungan alam semula memberi kesejukan dan kucuran air untuk kehidupan, tetapi kini yang terasa adalah udara semakin panas dan air menjelma banjir pada musim hujan. Pun demikian, "orang-orang kalah dari Jatinangor" ini telah kehilangan lahannya. Dari semula pemilik lahan kebun-persawahan, kini hanya menjadi penunggu kos atau satpam mal yang berdiri di lahan yang dulu adalah miliknya.
Kini, khitah SPBS berhadapan dengan pembangunan Tol Cisumdawu, pengembangan aerospace Kertajati Majalengka, Bandung Metropolitan Area, dan pembangunan Waduk Jatigede. Tantangan yang juga sekaligus peluang itu kiranya dapat diantisipasi oleh etos SPBS agar masyarakat Sumedang dan urang Sunda tidak menjadi obyek pembangunan dan jadi kuli di lemah caina.
Kreatif dan inovatif. Itulah kata kunci untuk menguatkan daya saing daerah. Filosofi insun medal insun madangan menjadi pegangan sebagai pelaku, sekaligus penerima manfaat utama pembangunan tanpa kehilangan jati diri kasundaan.
RAMELI AGAM Bergiat di Komunitas Celah Celah Langit, Kota Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar